“JADI saya pikir pada saat itu setiap wanita akan bereaksi
dengan berbagai cara yang berbeda. Beberapa wanita pada saat itu tidak akan
memasak, sedangkan yang lainnya akan terlibat dialog dengan suami mereka. Di
Seluruh negeri beberapa wanita akan keluar untuk berunjuk rasa. Mereka akan
menekan anggota Kongres Senator agar meluluskan undang-undang yang mempengaruhi
peran wanita.“
Kalimat di atas diucapkan Betty Friedan untuk menyambut demo
besar-besaran wanita pada tanggal 26 Agustus 1970 di Amerika Serikat. Friedan adalah
seorang tokoh feminis liberal yang ikut mendirikan dan kemudian diangkat
sebagai presiden pertama National Organization for Woman pada tahun
1966. Ia menjadi pemimpin aksi untuk mendobrak UU di Amerika yang melarang
aborsi dan pengembangan sifat-sifat maskulin oleh wanita.
Betty Friedan sendiri terlahir dengan nama Betty Naomi
Goldstein pada tanggal 4 Februari tahun 1921. Pada giliranya Friedan berkembang
menjadi seorang aktivis feminis Yahudi Amerika kenamaan pada durasi medio
1960-an. Puncak momentumnya terjadi setelah ia berhasil mengarang “The
Feminine Mystique“. Buku yang menjadi rujukan kaum feminis ini menggambarkan
peranan wanita dalam masyarakat industri. Di situ, Friedan mengkritik habis
peran ibu rumah tangga penuh waktu yang baginya sangat mengekang dan jauh dari
penghargaan terhadap hak wanita.
Buku Freidan pun terjual laris. The Feminine Mystique
berubah menjadi “kitab suci” bagi kaum wanita dan ia digadang-gadang sebagai
pencetus feminisme gelombang kedua setelah ombaknya pernah menyapu dunia abad
18.
Teori yang sangat ternama sekali darinya adalah apa yang
disebut oleh Freidan dengan istilah Androgini. Androgini sendiri adalah istilah
yang digunakan untuk menunjukkan pembagian peran yang sama dalam karakter
maskulin dan feminin pada saat yang bersamaan. Istilah ini berasal dari dua
kata dalam bahasa Yunani yaitu ανήρ (anér, yang berarti laki-laki)
dan γυνή (guné, yang berarti perempuan) yang dapat merujuk
kepada salah satu dari dua konsep terkait tentang gender.
Namun sejatinya, kata Androgini muncul pertama kali sebagai
sebuah kata majemuk dalam Yudaisme Rabinik sebagai alternatif untuk menghindari
kata hemaprodit yang bermasalah dalam tradisi Yahudi.
Akan tetapi, sekalipun telah menapaki karir yang sangat
memuncak dalam dunia feminisme, gagasan Freidan pun juga menjadi sasaran
kritik. Menariknya orang yang mengkritik Friedan adalah seorang feminis lainnya
bernama Zillah Eisenstein. Eisenstein sendiri adalah Profesor Politik dan
aktivis feminis dari Ithaca New York. Ia menulis kritikan tajam terhadap
gagasan konsep wanita bekerja milik Friedan. Dalam bukunya, Radical future
of Liberal Feminism, Eisenstsein mengkritik,
“Tidak pernah jelas apakah pengaturan ini seharusnya
meringan beban ganda perempuan (keluarga dan pekerjaan) atau secara signifikan
menstruktur ulang siapa yang bertanggung jawab atas pengasuhan anak. Bagaimana
tanggung jawab ini dilaksanakan?”
Perdebatan antara Eisenstein dan Freidan yang sama-sama
aktivis feminis hampir tidak pernah ditemukan dalam dunia Islam. Karena Islam bukanlah
sebuah produk dari akal manusia, tidak juga lekang dimakan waktu, lebih-lebih
relatif dalam standar manusia. NamunIslam adalah agama genuine yang langsung
turun dari Allah SWT.
Islam sebagai agama mulia, secara tegas mengatur posisi
wanita sebagai madrasah utama dalam pendidikan di rumah. Ibu, dalam Islam
mendapat posisi penting sebagai guru pertama anaknya, dan bukan kakek dari
anaknya, nenek dari anaknya, bahkan ayah dari anaknya sendiri.
Maka itu peran istri dalam Islam bagai guru besar pendidikan
pertama yang harus dihormati oleh suaminya. Al Qur’an sendiri secara jelas
melekatkan peran mulia seorang ibu yang simetris dengan peranan membangun rumah
tangga mulia. Dalam surah Al Ahzab ayat 33, Allah berfirman,
“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu
berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan
dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya.
Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, Hai ahlul
bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.”
Banyak orang salah kira, bahwa surat Al Ahzab ayat 33 hanya
berlaku spesifik kepada istri nabi, anggapan ini sungguh keliru. Karena Al
Qur’an adalah petunjuk bagi orang beriman dan Rasulullah SAW telah ditugaskan
sebagai nabi yang menjadi panutan umat manusia.
Islam di sini bukan berarti melarang seorang istri bekerja,
karena bekerja diperbolehkan dalam Islam. Tapi Islam hanya mendelegasikan bahwa
sekalipun perempuan bekerja itu harus dalam kondisi darurat dan pekerjaan
bukanlah sebagai pokok tugas utamanya, karena tugas utama mencari nafkah ada
pada fihak suami sedangkan istri memiliki beban yang lebih mulia: orang pertama
yang menyiapkan generasi rabbani.
Perihal peran wanita dalam menyiapkan generasi emas Islam,
Muhammad Quthb dalam bukunya Ma’rakah At Taqalid pun menulis,
“Islam memperhatikan pria dan wanita karena mereka akan
menjadi ibu-bapak produk baru. Tetapi Islam lebih memperhatikan wanita, karena
wanitalah pembangun hakiki dari generasi. Sedangkan ayah baru menyusul kemudian.
Mungkin ayah yang akan mendidik tapi itu nanti sesudah peranan sang ibu. Itulah
sebabnya Islam mengusahakan terjaminnya belanja hidup sang ibu, agar ia tidak
usah bekerja di luar rumah.”
Kebenaran Al Qur’an dan konsep Islam dalam mendudukkan perang
seorang wanita menjadi ibu di rumah memang terbukti benar dalam serangkaian
penelitian. Di Inggris kini telah terjadi tren dimana para wanita sudah
terfikir meninggalkan karirnya dan memilih untuk berkonsentrasi di rumahnya.
Sebuah majalah wanita, Genius Beauty, maret lalu
memberitakan bahwa para psikolog dan sosiolog Inggris menemukan bahwa 70%
wanita Inggris meninginkan membangun sebuah keluarga yang bahagia bersama
dengan pasangan mereka. Mereka memiliki kecendrungan untuk menjadi wanita yang
lebih dekat kepada anaknya, ketimbang dengan “bos” nya.
Bahkan Kathy Caprino dalam bukunya “Breakdown, Breakthrough” juga
memiliki kesimpulan hampir sama. Ia meneliti banyak wanita yang terjun ke dunia
pekerjaan cenderung tidak bahagia. Lima alasan terpopuler mengapa mereka tidak
bahagia akan pekerjaan yang disandangnya menurut Caprino adalah:
1. Merasa tidak akan bisa seimbang antara bekerja dan
mengatur keluarga
2. Menderita Masalah Finasial parah
3. Tidak sungguh-sungguh menjalani bakat dan keahlian dengan hati
4. Merasa tidak berharga dan dihormati
5. Hanya mendapatkan sedikit hal positif dan kesenangan dalam pekerjaan
2. Menderita Masalah Finasial parah
3. Tidak sungguh-sungguh menjalani bakat dan keahlian dengan hati
4. Merasa tidak berharga dan dihormati
5. Hanya mendapatkan sedikit hal positif dan kesenangan dalam pekerjaan
Maka itu dalam sejarah Islam, kita melihat bagaimana peran
ibu memiliki porsi terbesar dibalik tumbuh kembangnya seorang anak menjadi
ulama kelas dunia. Imam Syafi’i misalnya, dibesarkan oleh seorang ibu yang
begitu sabar. Ketiadaan suami tidak membuat Ibunda Imam Syafi’i menyerah pada
keadaan dan melupakan hak seorang anak untuk mendapatkan pendidikan terbaik
dalam bidang agama.
Kemiskinan pun tidak lantas membuatnya sungkan “melobi”
seorang guru di al-kuttab (Sekolah Mengahafal Qur’an) untuk curhat bahwa
dirinya tidak memiliki biaya bagi sekolah Imam Syafi’i. Bayangkan karena tidak
punya uang untuk membeli kertas, Imam Syafi’i sampai harus menulis di pecahan
tembikar, tulang belulang, hingga pelepah kurma. Dan berkat kegigihan sang
ibulah, guru di Al Kuttab itu merasa luluh.
Imam Syafi’i lantas betul-betul memanfaatkan momen belajar
yang telah dibuka oleh ketegaran seorang ibu. Bayangkan, Imam Syafi’i sudah
hafal Qur’an sejak kecil dan di umur 15 tahun telah diizinkan untuk
mengeluarkan fatwa. Subhanallah. Tanpa kehadiran seorang ibu, mungkin saat ini
kita hanya mengenal nama Imam Syafi’i sebagai orang biasa, bukan ulama kesohor
yang kejeniusannya dalam perkara fiqh menjadi peneman kita saat mengalami
kebingungan.
Sayyid Quthb pun demikian. Ketika ditanya tentang masa
kecilnya, Ulama Mesir itu hanya bisa berujar, “Setiap aku bermain, tidak ada
suara yang kudengar selain tilawah Qur’an yang dibawa oleh ibuku”. Ibu
seperti itulah yang melahirkan generasi penghafal qur’an dan pelawan
imperialisme dalam satu keluarga, baik Sayyid Quthb, Muhammad Quthb, Aminah
Quthb, Hamidah Quthb.
Konsep Ibu yang paralel dengan pembinaan generasi
berperadaban inilah yang tidak kita temui dalam agama-agama lainnya, seperti
Yahudi maupun Kristen. Mereka memang berbicara tentang perempuan, tapi bukan
perempuan yang melahirkan peradaban. Sebab jika memang perempuan mulia, tidak
mungkin wanita dipanggil para pria dengan sapaan femina atau kurang iman. “The
Very word to describe woman, femina, according to the authors (of Witchess
Hammer) is derived from fe and minus interpretated as less
in faith,” kata Walter L. Liefeld dalam buku berjudul Daughter of Church.
Terlepas apakah dasar etimologis kata femina itu benar atau
sekedar olok-olok yang pasti perempuan di Barat dalam sejarahnya memang
diperlakukan seperti manusia kurang iman. Tidak heran pada masa Inquisisi
wanita menjadi korban penyiksaan dan pemerkosaan. Jadi Barat memang tidak
memiliki pengalaman untuk membangun wanita beradab.
Sebaliknya Islam menurunkan hikmah dan ibrah tentang
dominasi peran ibu di dalam rumah yang tidak mesti dipusingkan oleh atribut
karir dunia. Merekapun bahagia-bahagia saja. Maka tak heran, perintah
menghargai ibu lebih pertama dititahkan oleh Allah ketimbang ayah. Dalam surah
Al Ahqaf ayat 15, Allah berfirman,
“Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada
dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah
payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). mengandungnya sampai
menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila Dia telah dewasa dan
umurnya sampai empat puluh tahun ia berdoa:
“Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat Engkau
yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya
aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridhai; berilah kebaikan kepadaku
dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada
Engkau dan Sesungguhnya aku Termasuk orang-orang yang berserah diri”.
(Pz/Islampos)
No comments:
Post a Comment